vendredi 20 avril 2007

If I Ask To, Would You Forgive?


Bagian Kedua


Dear Aimee, apa kabar? Kuharap kau sehat-sehat saja, seperti kami semua di sini.

Aimee,

Sayang sekali kau tidak ada di sini. Semua orang berkumpul. Nenek, Papa, Mama, David, bahkan Paman Arthur dan Eugene-mu juga datang. Semuanya ikut membantu Richard dan aku memindahkan barang-barang dan menata perabotan. Setelah itu, selama dua hari kami bersenang-senang saja. Makan masakan Nenek yang lezat dan pergi ke Bayou St. Jacques.

Aimee,

Kami menantikan kedatanganmu musim dingin nanti. Kau pasti akan betah tinggal di rumah kami yang baru. Ada ayunan di teras yang pasti kau suka. Sekarang Michael sudah bisa berbicara, kau pasti gemas melihatnya.

Oh ya, aku hampir lupa. Bulan depan (kira-kira saat surat ini sampai padamu), Eugene ditugaskan di Pearl Harbor. Sebenarnya kemarin ia datang untuk berpamitan. Sayang sekali kalian tidak bisa bertemu. Tidak pernah kukira ia akan ditugaskan sejauh itu. Tapi aku bersyukur ia tidak bergabung dengan RAF untuk menjadi pilot pengebom di Eropa. Bagaimanapun juga, itu terlalu berisiko.

Salam dari semuanya di sini. Mama mengirim biskuit coklat, tapi katanya jangan dihabiskan sendiri kalau tidak ingin terlihat gemuk saat wisuda kelak.

Miss you so much, dear sister.

XOXOXOX

Diane

P.S. Jangan sedih karena tidak bertemu dengannya sebelum ia pergi, karena baru saja Gene menelepon dan katanya Desember nanti ia akan pulang ke Louisiana.

***

Kupandangi jendela gelap di lantai dua itu. Satu-satunya ruangan yang lampunya belum dinyalakan. Eugene belum pulang.

Kuhela nafas panjang.

Sudah tiga tahun aku berusaha melupakan dirinya. Tak perlu kukatakan bagaimana hasilnya. Gagal total. Aku tak bisa menghapus perasaanku padanya.

Dan sekarang… Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Aku akan melihatnya. Mungkin ia akan berbicara lagi denganku. Mungkin aku akan meninggalkannya begitu saja seperti waktu itu. Mungkin aku akan marah dan kesal berhari-hari melihatnya bersama gadis keluarga Walker itu…

Atau sebaliknya…?

Tapi bagaimana jika ia tidak…

“Aimee,” panggil Richard, kakak laki-lakiku, dari balik jendela mobil. “Kita masuk sekarang?”

Aku mengangguk dan turun dari Buick 1939 Richard.

***

“Kapan kau akan kemari?” tanya Diane langsung ketika aku meneleponnya setelah makan malam.

“Jangan besok, aku masih lelah sekali,” jawabku.

“Hmm… Lusa aku ada urusan, dan tanggal delapan ada acara amal yang harus kuhadiri…” Diane bergumam sendiri. “Tanggal tujuh. Ya, tanggal tujuh aku tak ada acara. Bagaimana menurutmu?”

“Setuju,” jawabku ceria.

“Kuajak kau ke rumah Auntie Chang, dan aku akan membawakan brownies favoritmu, oke?”

“Oke.”

***

Aku duduk memangku Michael yang terlelap sementara Diane mengemudi. Bewitched, Bothered, and Bewildered mengalun pelan dari radio. Sambil terkantuk-kantuk aku memandangi ladang Uncle Shep yang luas, ladang yang sama yang kulalui dengan sepeda beberapa tahun silam. Ketika aku meninggalkan Eugene begitu saja di meja makan.

Hari ini aku, Diane, dan Michael mengunjungi Auntie Chang, sahabat Mama sejak Mama masih kecil. Auntie mengajari Diane membuat dimsum dan Puding-Patah-Hati, puding coklat lezat yang resepnya diciptakan sendiri oleh Auntie Chang ketika tunangannya meninggalkannya pulang ke Szechuan.

Sementara mereka mengaduk, melipat, mengukus dan tertawa-tawa di dapur, aku bermain dengan Michael. Benar-benar gila, anak itu seperti tidak ada capeknya. Ia terus bergerak, mengoceh, dan menjerit-jerit. Diane hebat sekali bisa mengurusnya sendiri, dengan kegiatannya yang bejibun itu.

Tapi sekarang, terlelap di pangkuanku dengan rambut ikalnya yang pirang, pipi gemuk kemerahan dan bibirnya yang sedikit terbuka, aku merasa bahwa tidak ada anak lain yang lebih menggemaskan dari Michael. Dan aku sayang sekali padanya. Sayaang… sekali.

Lalu aku bertanya-tanya apakah rasa sayangku pada Michael lebih besar daripada rasa sayangku pada Eugene. Dan ketika aku sampai pada kesimpulan bahwa kedua perasaan itu berbeda meski mungkin sama besarnya, Diane sudah menghentikan mobil di depan gerbang.

Aku mengangkat wajah dan terkejut sekali melihat Richard dan Dave, adik laki-lakiku, berdiri di sana. Pontiac biru Dave masih menyala mesinnya.

Aku turun pelan-pelan, masih memeluk Michael.

“Dave, kau terlalu cepat dua jam,” kataku padanya sambil memindahkan Michael yang masih terlelap pada pelukan Diane. “Kupikir aku memintamu untuk menjemputku jam sembilan?”

Dave tidak menjawab. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Aimee, pulanglah denganku,” katanya.

“Tapi aku masih ingin me—”

“Kumohon, Aimee, ikutlah denganku.”

Aku tertegun. Dave tidak pernah memohon. Tidak sekalipun. Tapi sekarang ia memohon padaku.

“B-baiklah, Dave. Tunggu sebentar…”

Aku menoleh. Diane dan Richard berdiri di sana. Richard memeluk lengan Diane.

“It’s okay, sweetheart,” kata Diane, tersenyum lembut.

Richard menepuk pundakku. “Nanti kami susul,” katanya pelan.

***

Dave menghentikan mobil di depan gerbang. Kulihat pintu depan terbuka, dan semua lampu dinyalakan. Beberapa mobil nampak diparkir di dekat Uncle Crooks. Di depan kami, ada sebuah jeep militer.

Jeep militer.. Aku mendongak. Lampu di kamar Eugene pun menyala. Aku menghela nafas, menoleh pada Dave dan tersenyum. “Kalau hanya Eugene yang pulang dan kita mengadakan pesta kejutan, kau kan tidak perlu menjemputku lebih awal, Dave.”

Dave tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke jendela di sisinya.

“Dave?” panggilku.

Ia tetap diam.

“Dave, ada apa ini?” tanyaku khawatir, memegang lengannya agar ia berpaling menghadapku.

“Dave, aku ingin tahu. Katakan padaku sekarang juga. Sebenarnya ada apa?”

Pelan, Dave menggerakkan kepalanya. Ia tidak menatapku, ia hanya menunduk.

“Dave?!” kuguncangkan lengannya.

Akhirnya ia menatapku.

“It’s Eugene…” kata Dave berat.

“Apa katamu?”

“Aunt Denise mendapat telegram… dari Kemiliteran.”

Aku memalingkan wajah ke luar jendela. Langit malam begitu kelam, tidak satupun bintang terlihat di sana. Sesaat, kemudian aku kembali menatap Dave.

“Kau bercanda, kan?” aku tersenyum.

“Sepunuh hati aku berharap aku sedang bercanda,” jawab Dave, mengusap mata dengan lengan jaketnya.

Aku tertawa. “Kalau begitu kau berbohong.”

Kudekatkan wajahku pada Dave sambil mencengkeram erat lengan jaketnya. “Dengar, Dave,” bisikku penuh ancaman. “Eugene tidak pergi berperang ke Eropa. Dia hanya ditugaskan ke Pearl Harbor. Tak mungkin terjadi apa-apa padanya.”

“Aimee—”

“Tidak! Aku tidak mau mendengar omong kosong lagi!” teriakku sambil menutup telinga dengan kedua tangan.

“Aimee—”

“Aku—tak mau—dengar—lagi!” teriakku sambil membuka pintu mobil dan melompat keluar.

Masih menutup kedua telinga, aku berlari menyeberangi halaman.

Tidak, ini tidak mungkin benar!

Aku terus berlari.

Mama. Mama pasti tahu semua ini tidak benar.

Aku terus berlari.

“Mama! Mamaaa!!”

***

Aku nyaris jatuh tersandung kaki Helen ketika aku masuk. Aku menegakkan punggung dengan jengkel dan nyaris saja memarahinya karena ia duduk begitu saja di dasar tangga ketika kusadari sesuatu. Helen membenamkan wajah dalam gaun katun birunya. Ia menangis.

Aku menelan ludah. Kusentuh bahu Helen.

Helen mengangkat wajah. Bulir-bulir air mata menuruni pipinya. “Aku menggendongnya dalam pelukanku ketika ia lahir. Dia anak yang baik… Aku tahu ini akan terjadi. Dia seharusnya tidak pergi…”

Kulepaskan tanganku dari bahu Helen. Aku berlari ke ruang tengah.

“Ma!” panggilku sambil membuka pintu.

Apa yang kulihat membuatku nyaris kehilangan keseimbangan. Aku berpegang erat pada daun pintu, gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Paman Arthur duduk di kursi dekat perapian, memegang kapala dengan kedua tangan, menatap lantai tanpa ekspresi. Papa duduk di samping Paman, berkata pelan, entah apa.

Di dekat jendela, Mama memeluk Bibi Denise yang menangis terisak-isak. Di dekat mereka, seorang pria berseragam militer lengkap berdiri. Ia diam, tetapi matanya pun sembab.

Eugene… kau tidak benar-benar…

Dingin… kepalaku sakit. Seseorang, peluklah aku dan katakan padaku semua ini tidak benar-benar terjadi.

Aku melangkah masuk, menunggu seseorang memelukku.

Tolong aku…

Aku berjalan mendekat, masih menanti. Tidak seorang pun datang.

Di salah satu sudut kulihat sosoknya. Gadis yang menangis saat Eugene pergi itu duduk di sana. Air mata tak berhenti mengalir dari mata coklatnya yang besar. Gadis itu terisak perlahan. Sendiri sepertiku.

Aku berjalan mendekat, berlutut di hadapannya. Ia memandangku. Kurengkuh dirinya dalam pelukan.

Saat ini dialah yang paling membutuhkan pelukan dari seseorang.

***

Kemiliteran mengirimkan barang-barang milik Eugene. Aunt Denise tak sanggup melihat barang-barang itu. Ia memintaku dan Diane untuk mengeluarkan barang-barang itu dari kotaknya.

Diane menghidupkan lampu kamar Eugene. Seprei dan bantal biru di atas bed tertata rapi. Begitu pula meja tulisnya. Bola basket… Lambang West Point di dinding… Deretan pigura di atas rak buku.

Aku melangkah ke depan rak, dan memandangi pigura-pigura itu. Hatiku terasa tersayat melihat foto kami berdua pada salah satu pigura itu. Kami bergandengan tangan, tersenyum cerah.

Air mata mulai merebak, aku memalingkan wajah ke arah kotak yang berisi barang-barang milik Eugene. Diane sudah membuka kotak itu. Diangkatnya sebuah pigura dari dalam kotak itu, dan dipandanginya lembut foto Eugene yang tersenyum cerah dalam seragamnya.

Diane meletakkan pigura itu. “Keterlaluan. Bahkan jasadnya tak kembali.”

Tanganku bergetar, menyentuh kotak itu.

Diane benar… Bahkan jasadnya tidak kembali.

Kupandangi benda-benda di hadapanku dengan hati pilu. Seragam hijau. Muts. Tanda-tanda pangkat. Badge yang belum dijahit. Seragam lapangan…

“Apa ini?” tanya Diane, mengangkat sebuah kotak biru di lantai. Aku mendekat, dan membuka tutup kotak itu.

Sebuah pesawat kayu tergeletak dalam kotak hitam itu. Warna merah sayapnya yang lebar begitu berkilau ditimpa cahaya lampu.

Ini… Pesawat ini…

Dengan tangan gemetar kuamati setiap detil pesawat itu. Aku tak mungkin lupa bentuk baling-baling itu, tempat duduk, sayap, dan ekornya. Pesawat ini, adalah replika yang sempurna dari Rhett Butler-ku.

“Aimee… Ini…” bisik Diane dengan suara tertahan. Diulurkannya sebuah kartu berwarna biru cerah. Secerah langit Louisiana di musim panas. “Jatuh ketika kau mengangkat pesawat itu.”

Perlahan, kubuka kartu kecil itu. Tulisan Eugene yang ramping dan panjang-panjang menyambutku. Hanya ada tiga kata di sana.

Aimee, maafkan aku.

Tak terkira pedihnya hatiku saat itu. Bulir-bulir hangat membasahi pipiku.

Kupandangi pesawat merah itu sekali lagi. Betapa miripnya. Tak ada bagian yang berbeda.

Kecuali satu. Di dekat ekor pesawat itu terukir sebuah nama yang ditegaskan dengan tinta hitam berkilau.

Rhett Butler.

Aku menelungkup di lantai, memeluk pesawat merah itu sambil menangis tersedu-sedu.

EugeneEugene…!!

***

Bintang-bintang nampak berkilau dilatarbelakangi langit senja ungu bersemu merah. Kubuka pintu pagar, dan kutuntun perlahan sepedaku memasuki halaman. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Semua, kecuali lampu salah satu kamar di lantai dua.

Eugene sudah pergi. Pergi, dan tak mungkin akan kembali.

Kusandarkan sepeda di samping rumah, kemudian aku berjalan ke arah Uncle Crooks. Aku duduk di atas ayunan yang tergantung pada salah satu cabangnya.

Kupandangi ruang tanpa cahaya itu. Pemandangan yang sama sejak lima tahun silam. Sejak Eugene meninggalkan kota ini.

Pemandangan yang sama. Tapi sekarang, ada rasa hampa dan kepedihan yang menyusup lebih dalam.

Aku berayun perlahan, memandangi cabang-cabang pohon oak tua ini. Saat itu, di cabang manakah ia duduk? Dari cabang yang mana ia melemparkan pesawat merah itu, dan mengawali kehancuran hatiku?

Eugene

Maaf…


When the deep purple falls

Over sleepy garden walls,

And the stars beam to flicker in the sky

Thru the mist of memory,

You wander back to me

Breathing my name with a sigh

In the still of the night,

Once again I hold you tight,

Though you’re gone,

your love lives on

When moonlight beams

And as long as my heart will beat

Lover, we’ll always meet

Here in my deep purple dreams..

Fin

3 commentaires:

  1. Boni................ bagus banget Bon kamu bikin fiksi... ku-print ya ya ya?
    mobil2 n pohon ada namanya smua ^^; eh omong2 aimee tu sukanya manggil2 ya? hehhehee mama mama, eugene eugene....

    p.s.: mau donk puding patah hati ^_^

    RépondreSupprimer
  2. Iya, iya..
    Di-print aja, Nadya :)

    Ah, you make me feel flattered, as always *^ ^*

    Puding patah hati?
    Hihi, boleh, boleh, tapi nggak pake patah hati dulu ya ;)

    RépondreSupprimer

little birds told me: