vendredi 20 avril 2007

If I Ask To, Would You Forgive?

In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful...


Bagian Pertama


Anak laki-laki berambut hitam itu duduk di cabang paling atas Uncle Crooks, pohon oak tua yang tumbuh di depan jendela perpustakaan. Ia bersandar pada batang pohon itu, bersiul pelan sambil mengelap sayap sebuah pesawat kayu kecil merah dengan ujung kemeja kotak-kotak birunya.


Eugene sialan! umpatku dalam hati. Kalau punya sepupu senakal ini, lebih baik tidak usah saja!

“Geene! Turuun!” teriakku. “Kembalikan Rhett Butler-ku!”

Gene tertawa. “Rhett Buttler? Maksudmu pesawat merah ini?”

Wajahku terasa panas. Kali ini Eugene benar-benar keterlaluan. Aku marah sekali. Marah karena dia mengambil pesawat merah kesayanganku begitu saja. Dan marah pada diriku sendiri, yang memberinya alasan untuk menertawaiku.

Aimee bodoh! Kenapa menamai pesawat itu Rhett, hanya karena cat merahnya yang begitu berkilau?

“Hey, Aimee!” panggil Gene. Aku mendongak. “Wah, wajahmu semerah Rhett Butler!” katanya di sela-sela tawa.

Ugh! Rasanya ingin kutonjok saja wajahnya yang menyebalkan itu!

“Gene, dengar!” kataku dengan nada mengancam. “Kembalikan pesawat itu sekarang, atau aku akan…”

“Sekarang?” Eugene tersenyum jahil. “Oke, kebetulan aku juga ingin melihat seberapa hebat ia bisa terbang.”

Aku tercengang. Gene berdiri di cabang itu, mengangkat Rhett Butler setinggi bahu, dan tanpa mempedulikan teriakan-teriakan panikku (“Jangan, Gene! Please! Eugene!!”), ia tersenyum dan menerbangkan Rhett Butler, seakan pesawat kayu itu hanyalah pesawat dari kertas lipat yang biasa dibuatnya.

Pesawat kecil itu melayang perlahan, warna merahnya yang berkilau terlihat begitu cerah dilatarbelakangi langit biru musim panas. Hanya sesaat, kemudian pesawat itu mulai oleng, dan cepat serta tak terkendali ia jatuh berputar-putar. Akhirnya pesawat merah itu menghantam tanah dengan suara ‘KRAK!’ yang mengerikan.

Aku segera berlari menuju pesawat itu. Aku tahu apa yang kuharapkan tak mungkin terwujud, tapi aku tetap berharap pesawat itu tidak mengalami kerusakan yang parah.

Aku berlutut di hadapan pesawat itu. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas karena air mata sudah mengaburkan pandanganku. Tetapi ada satu hal yang kuketahui dengan pasti. Hatiku hancur bersamaan dengan hancurnya pesawat merah itu.

“A-aimee?” terdengar suara terbata-bata dari balik punggungku. Suara Gene.

Eugene… Semua ini gara-gara Eugene!!

Penuh kemarahan aku berdiri dan berbalik menatap wajahnya yang kini tampak pucat dan khawatir. Air mata semakin deras membasahi pipiku.

“Aimee, a-aku..”

Gene tak pernah menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja aku sudah melepas sepatu kananku dan melemparkan sepatu itu ke arahnya kuat-kuat.

TAKK!!

Tepat mengenai dahi sebelah kanannya. Darah mengucur deras dari luka yang diakibatkan sepatu itu.

Darah! Darah mengalir menuruni pipinya, membasahi kemeja kotak-kotak birunya… Terus, terus… seakan tanpa akhir.

Aku takut! Takut, takut sekali! Aku tidak berani melihat lagi!

Kujatuhkan diriku di dekat pesawat merah yang sudah hancur itu.

Gene mati! Mati! Aimee pembunuh!

Tidak! Tidak! Bukan aku! Itu salah Gene. Eugene yang salah!!

Aku menelungkup di atas tanah yang basah, memeluk pesawat kecil itu sambil menangis tersedu-sedu.

Bukan aku! Gene yang bersalah!!

***

Kenangan itu kembali terlintas di benakku. Pohon oak tua, senyum Eugene, pesawat, dan darah. Setiap detilnya masih dapat kuingat dengan jelas, meski lima tahun telah berlalu sejak saat itu.

Lima tahun… dan aku masih mengingatnya dengan jelas, seakan peristiwa itu baru terjadi sore kemarin. Lima, atau sepuluh tahun dari sekarang, apakah aku masih akan mengenang kejadian itu seperti saat ini?

Aku menghela nafas panjang. Tak hanya sepuluh tahun. Mungkin kenangan itu akan kubawa sampai aku mati. Seperti kebencian yang kurasakan terhadap pemuda berseragam militer di sudut ruangan itu. Eugene Francis Miller.

Kupandangi sosok yang tengah menenangkan seorang gadis yang sedang tersedu-sedu itu. Dan aku sedikit tertegun melihatnya mengulurkan sepucuk sapu tangan putih dari balik jas hijau tuanya.

Eugene yang sekarang bukanlah Eugene yang mengelap apapun dengan ujung kemeja kotak-kotaknya. Sepanjang liburan musim panas ini, kuperhatikan ia selalu membawa sepucuk sapu tangan dalam saku celana panjangnya, seperti pemuda-pemuda lain yang tahu bagaimana bersopan santun.

Ia bukan pula anak laki-laki bengal yang selalu membuat orang menangis. Ia adalah seorang pemuda tampan yang baru saja diterima di West Point. Seorang perwira militer.

Aku memalingkan wajah, dan menaiki tangga menuju ke kamarku. Muak rasanya melihat gadis itu terus mencucurkan air mata.

Dia tidak hendak pergi berperang, kan? Dia kan tidak menghadapi risiko kematian di sana? Demi Tuhan, dia hanya hendak melanjutkan sekolah!

***

Aku baru saja memasuki ruang makan untuk sarapan ketika tiba-tiba Eugene masuk dengan seragam lengkapnya. Ia menarik kursi, dan duduk di seberang meja. Persis di hadapanku.

Kuhirup decaf-ku perlahan-lahan, sementara nafsu makanku menguap begitu saja.

Gene menuang kopi ke dalam cangkir, dan secara tak terduga, ia memulai pembicaraan.

“Aku belum memberimu selamat,” katanya ramah. “Fakultas Hukum di Harvard, kan? Aimee, itu sungg..”

“Yale,” potongku tajam. “Fakultas Hukum di Yale.”

Alis Gene yang tebal itu terangkat.

“Yale?” kata Gene tak percaya. “Kau lulus keduanya dan kau memilih Yale? Kupikir Harvard adalah impianmu sejak kecil.”

Untuk pertama kalinya sejak ia pulang, aku menatap wajahnya. Terlihat olehku bekas luka di dahi kanannya. Hatiku terasa pedih.

Tak sanggup berada di sini lebih lama dengannya, aku berdiri. Sambil memalingkan wajah, aku berkata, “Waktu berlalu, Gene. Banyak hal telah berubah.”

“Kecuali kebencianmu padaku,” jawab Gene getir.

Aku menoleh, dan tatapannya yang dalam dan menusuk menyambutku.

Aku tersenyum. “Bagus jika kau mengerti.”

***

Kukayuh sepedaku kuat-kuat melintasi jalan yang membelah ladang bunga matahari milik Uncle Shep.

Eugene

Menyedihkan, menyedihkan.

Sungguh menyedihkan diriku ini. Hanya dapat meninggalkan kesan yang begitu keliru, begitu salah.

***

Kubuka mataku perlahan-lahan. Awalnya semua tampak samar-samar, lalu mulai terlihat jelas jendela kamarku, sinar matahari sore menerobos masuk, membentuk leret-leret panjang yang menyilaukan.

Lalu wajah Mama, menatapku khawatir.

Ada apa? Kenapa Mama menatapku seperti itu?

“Aimee? Dahlin’?” panggil Mama lembut.

Tiba-tiba aku teringat. Uncle Crooks. Pesawat. Langit. Darah…

Darah!!

“Mama! Eugene! Bu-bukan Aimee yang salah! Bukan, Ma—” ujarku panik.

Mama memelukku erat. “Tenang, tenang, Sayang...”

“Tapi Eugene maatiii…” aku langsung menangis lagi.

Mama melepaskan pelukannya, dan menatapku lagi. Anehnya, Mama terlihat sedikit geli.

“Mati? Tapi Eugene tidak mati, Aimee sayang. Dia sedang makan sup di dapur bersama Hellen.”

Aku melongo.

“Aimee tidak percaya?” tanya Mama. “Bagaimana kalau Mama panggilkan dia, supaya Aimee percaya?”

“Tidak, tidak. Aimee ingin melihatnya sendiri,” jawabku sambil turun dari tempat tidur.

Mama membimbingku berjalan ke dapur.

Aku mengintip dari balik tembok, dan di sana kulihat Eugene, sedang makan sup dan roti dengan lahapnya. Dahinya diperban. Ia terlihat seperti pangeran dari negeri timur yang memakai sorban di kepalanya.

Eugene masih hidup.

“Sekarang Aimee percaya, kan?” tanya Mama lembut.

Percaya? Entahlah… Ini terlalu menakjubkan untuk menjadi kenyataan.

***

Mungkin ada sesuatu yang salah dengan otakku, aku tidak mengerti. Tapi selama berminggu-minggu setelah itu, aku hidup dengan keyakinan bahwa Eugene hidup hanya jika aku melihatnya dari jauh. Jika aku menyentuhnya, atau berbicara dengannya, ia akan menghilang begitu saja, ke tempat di mana ia seharusnya berada.

Memang seperti itu keadaannya. Itulah hukuman yang harus kuterima karena aku telah melukainya seperti itu.

Itulah alasan mengapa aku tidak pernah mau menemuinya, dan mendengarnya meminta maaf padaku, seberapapun kerasnya semua orang membujukku.

Sampai hari terakhir Eugene tinggal bersama kami.

Aku mengunci diri di kamar, diam memandangi serpihan-serpihan yang tersisa dari Rhett Butler-ku yang hebat.

Terdengar ketukan di pintu. Aku sudah beranjak dari tempat tidur ketika kudengar suara Eugene dari balik pintu.

“Aimee? Aimee, boleh aku berbicara denganmu sebentar?”

Tidak, tidak boleh!

Aku diam, menutup telinga dengan kedua tanganku.

Tidak boleh!!

“… Baiklah jika kau memang tidak ingin berbicara denganku,” kata Eugene lagi. “Aku mengerti jika kau tak dapat memaafkanku. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesali perbuatanku. Maaf…”

Ada jeda yang cukup lama. Aku sedikit ragu-ragu.

Aku bukannya tidak mau memaafkanmu…

“Selamat tinggal.”

Kemudian terdengar langkah-langkah panjang di koridor, semakin lama semakin pelan dan jauh.

Aku diam. Memandangi Rhett Butler yang sudah hancur.

Aku ingin mengejarnya dan meminta maaf karena telah melukainya.

Tapi bagaimana jika… Jika dia menghilang? Jika ternyata ia benar-benar sudah meninggal?

Tidak, tidak! Pemikiran bodoh macam apa ini? Kalaupun dia harus mati setelah aku bertemu dengannya, paling tidak dia mati setelah tahu bahwa aku tidak marah padanya, aku sudah memaafkannya.

Bahwa aku terlalu sayang padanya untuk tidak memaafkannya.

Aku berlari keluar kamar, menuruni tangga dan terus berlari ke halaman.

Saat itu Buick merah yang membawa Eugene pergi sudah melewati gerbang dan berbelok. Hanya kepulan debu yang tersisa.

Aku berhenti di depan pintu, terengah-engah.

Terlambat.

Benar-benar sudah terlambat.

***

“Helen, sepertinya ovennya sudah panas. Kita masukkan adonannya sekarang?” tanyaku.

“Mari saya lihat. Ya, Miss Aimee, masukkan saja sekarang. Hati-hati tanganmu, jangan sampai terbakar,” jawab Helen.

Aku memasukkan adonan kue ke dalam oven sambil bersenandung.

Hari ini Eugene akan datang. Setelah lima tahun, akhirnya aku dapat bertemu dengannya. Nanti, aku akan berbaik-baik padanya. Aku akan bersikap ramah. Aku akan meminta maaf padanya karena telah melukainya. Juga atas sikapku yang buruk selama ini.

Jika ia sudah memaafkanku, aku akan membuat kue, lalu mengajaknya ke Spring Creek. Menonton festival api unggun. Ke rumah Uncle Shep dan melihat ladang bunga matahari…

Terdengar derum mobil melintasi halaman. Aku menoleh, lalu berjalan ke arah jendela. Buick merah. Seorang pria tinggi berseragam militer keluar, diikuti pemuda berambut hitam yang memakai kemeja biru laut.

“Helen! Itu Eugene dan Paman Arthur!” ujarku senang.

“Oh, kau benar, Miz Aimee!” pekik Helen senang. “Sana, kau sambutlah mereka, biar saya yang mengeluarkan kuenya jika sudah matang.”

Aku segera berjalan ke pintu depan. Ketika aku tiba, Papa tengah menyalami Paman Arthur dan Mama memeluk Eugene.

“Kau tinggi sekali sekarang, Nak,” kata Mama. “Dan semakin tampan saja.”

Eugene tersenyum ramah.

Aku berdiri di samping Papa, menyalami Paman Arthur.

“Dan siapa gadis cantik ini?” tanya Mama.

Aku menoleh. Gadis cantik?

Baru sekarang kusadari, ada seorang gadis seusiaku berdiri di samping Eugene. Rambutnya ikal, berwarna coklat gelap seperti matanya yang bulat. Ia memakai gaun berenda kuning muda. Dan ia tersenyum manis.

“Ini Marlene Walker, Aunt Louise,” kata Eugene ramah. “Putri Kolonel Robert Walker…”

Mama menjabat tangan gadis itu dan tersenyum.

“… Tunangan saya,” Eugene melanjutkan.

***

Tidak ada sikap ramah, tidak ada permintaan maaf, tidak ada kue, tidak ada ladang bunga matahari. Tidak ada… apapun.

Eugene tidak pernah mengerti. Aku marah sekali padanya karena tiba-tiba saja ia pulang dan sudah bertunangan dengan orang lain.

Padahal aku sudah menunggu-nunggunya.

Padahal aku sudah mau memaafkannya.

Padahal aku ingin meminta maaf padanya.

Padahal aku…

WAAA!! Darimana jeep itu datang??!

“AWAAAS!!”

“Rem, Private, rem!!”

Oh, I shall die! I shall die!!

CKIIIIIT!!! BRAKK!!

***

Pelan-pelan kubuka mataku. Aku masih hidup! Di balik kaca depan jeep yang nyaris menabrakku, dua orang berseragam hijau memandangiku. Yang satu memandangiku khawatir, dan yang lain terlihat sangat kesal.

“Dasar bodoh!” omel pemuda bertampang kesal itu sambil menyalakan mesin kembali. Ia segera menekan pedal gas dan jeep itu berlalu pergi. Pemuda itu masih mengomel dan mengumpat.

Ya Tuhan… aku masih hidup…

Aku menghela nafas lega. Rupanya aku sempat menghentikan sepeda di saat-saat terakhir. Masih memegang stang, aku menoleh ke arah jeep yang melaju kencang itu.

Jeep militer. Yang hampir menabrakku tadi tentara. Sama seperti ayah gadis itu. Sama seperti Eugene. Dan Eugene-lah yang membuatku melamun tadi.

Tentara, tentara! Semua tentara menyebalkan!

“Tentara sialaaan!!” teriakku kesal, membelah langit musim panas Louisiana.

***

Lampu-lampu sudah dinyalakan ketika aku pulang. Kubuka pagar, sambil memandang langit senja berwarna ungu yang dihiasi bintang. Pintu samping sudah ditutup. Pasti Mrs Jackson sudah mengunci pintu itu.

Kutuntun sepedaku melintasi halaman, dan kusandarkan ia pada batang Uncle Crooks. Beberapa ekor kunang-kunang beterbangan di antara daun pohon tua ini.

Kutengadahkan wajah, memandang langit. Bulan keperakan bersinar lembut. Cahayanya tenang, seperti mutiara yang berkilauan.

Aku sudah melangkahkan kaki menuju beranda ketika kusadari ada yang berbeda dengan rumah ini. Ada sesuatu yang berubah dari malam-malam sebelumnya.

Aku berhenti, lalu mundur beberapa langkah. Kupandangi bangunan bercat putih di hadapanku ini lekat-lekat. Atap merahnya, lampu-lampu yang memancarkan sinar dari balik jendela…

Ah, lampu itu. Ya, lampu itu.

Malam ini jendela paling utara di lantai dua itu terlihat gelap. Lampu di ruangan itu tidak dinyalakan. Karena pemilik kamar itu pergi hari ini.

Ya, hari ini Eugene kembali ke West Point.

Kupandangi jendela gelap itu. Rasanya aneh, ada satu jendela yang gelap sementara jendela-jendela lain begitu terang.

Mungkin… aku sedikit merasa kehilangan.

Aku menghela nafas panjang.

Sudahlah… Besok aku juga harus pergi. Mungkin kesibukan di kampus akan membuatku melupakan semua ini. Kuharap begitu. Karena jika tidak, hidupku akan berat sekali.

Kupandang sekali lagi jendela tanpa cahaya itu. Lalu kuteruskan langkah menuju teras. Aku membuka pintu dan tersenyum lebar. Wangi cake vanilla kesukaanku memenuhi udara.

***

If I Ask To, Would You Forgive?


Bagian Kedua


Dear Aimee, apa kabar? Kuharap kau sehat-sehat saja, seperti kami semua di sini.

Aimee,

Sayang sekali kau tidak ada di sini. Semua orang berkumpul. Nenek, Papa, Mama, David, bahkan Paman Arthur dan Eugene-mu juga datang. Semuanya ikut membantu Richard dan aku memindahkan barang-barang dan menata perabotan. Setelah itu, selama dua hari kami bersenang-senang saja. Makan masakan Nenek yang lezat dan pergi ke Bayou St. Jacques.

Aimee,

Kami menantikan kedatanganmu musim dingin nanti. Kau pasti akan betah tinggal di rumah kami yang baru. Ada ayunan di teras yang pasti kau suka. Sekarang Michael sudah bisa berbicara, kau pasti gemas melihatnya.

Oh ya, aku hampir lupa. Bulan depan (kira-kira saat surat ini sampai padamu), Eugene ditugaskan di Pearl Harbor. Sebenarnya kemarin ia datang untuk berpamitan. Sayang sekali kalian tidak bisa bertemu. Tidak pernah kukira ia akan ditugaskan sejauh itu. Tapi aku bersyukur ia tidak bergabung dengan RAF untuk menjadi pilot pengebom di Eropa. Bagaimanapun juga, itu terlalu berisiko.

Salam dari semuanya di sini. Mama mengirim biskuit coklat, tapi katanya jangan dihabiskan sendiri kalau tidak ingin terlihat gemuk saat wisuda kelak.

Miss you so much, dear sister.

XOXOXOX

Diane

P.S. Jangan sedih karena tidak bertemu dengannya sebelum ia pergi, karena baru saja Gene menelepon dan katanya Desember nanti ia akan pulang ke Louisiana.

***

Kupandangi jendela gelap di lantai dua itu. Satu-satunya ruangan yang lampunya belum dinyalakan. Eugene belum pulang.

Kuhela nafas panjang.

Sudah tiga tahun aku berusaha melupakan dirinya. Tak perlu kukatakan bagaimana hasilnya. Gagal total. Aku tak bisa menghapus perasaanku padanya.

Dan sekarang… Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Aku akan melihatnya. Mungkin ia akan berbicara lagi denganku. Mungkin aku akan meninggalkannya begitu saja seperti waktu itu. Mungkin aku akan marah dan kesal berhari-hari melihatnya bersama gadis keluarga Walker itu…

Atau sebaliknya…?

Tapi bagaimana jika ia tidak…

“Aimee,” panggil Richard, kakak laki-lakiku, dari balik jendela mobil. “Kita masuk sekarang?”

Aku mengangguk dan turun dari Buick 1939 Richard.

***

“Kapan kau akan kemari?” tanya Diane langsung ketika aku meneleponnya setelah makan malam.

“Jangan besok, aku masih lelah sekali,” jawabku.

“Hmm… Lusa aku ada urusan, dan tanggal delapan ada acara amal yang harus kuhadiri…” Diane bergumam sendiri. “Tanggal tujuh. Ya, tanggal tujuh aku tak ada acara. Bagaimana menurutmu?”

“Setuju,” jawabku ceria.

“Kuajak kau ke rumah Auntie Chang, dan aku akan membawakan brownies favoritmu, oke?”

“Oke.”

***

Aku duduk memangku Michael yang terlelap sementara Diane mengemudi. Bewitched, Bothered, and Bewildered mengalun pelan dari radio. Sambil terkantuk-kantuk aku memandangi ladang Uncle Shep yang luas, ladang yang sama yang kulalui dengan sepeda beberapa tahun silam. Ketika aku meninggalkan Eugene begitu saja di meja makan.

Hari ini aku, Diane, dan Michael mengunjungi Auntie Chang, sahabat Mama sejak Mama masih kecil. Auntie mengajari Diane membuat dimsum dan Puding-Patah-Hati, puding coklat lezat yang resepnya diciptakan sendiri oleh Auntie Chang ketika tunangannya meninggalkannya pulang ke Szechuan.

Sementara mereka mengaduk, melipat, mengukus dan tertawa-tawa di dapur, aku bermain dengan Michael. Benar-benar gila, anak itu seperti tidak ada capeknya. Ia terus bergerak, mengoceh, dan menjerit-jerit. Diane hebat sekali bisa mengurusnya sendiri, dengan kegiatannya yang bejibun itu.

Tapi sekarang, terlelap di pangkuanku dengan rambut ikalnya yang pirang, pipi gemuk kemerahan dan bibirnya yang sedikit terbuka, aku merasa bahwa tidak ada anak lain yang lebih menggemaskan dari Michael. Dan aku sayang sekali padanya. Sayaang… sekali.

Lalu aku bertanya-tanya apakah rasa sayangku pada Michael lebih besar daripada rasa sayangku pada Eugene. Dan ketika aku sampai pada kesimpulan bahwa kedua perasaan itu berbeda meski mungkin sama besarnya, Diane sudah menghentikan mobil di depan gerbang.

Aku mengangkat wajah dan terkejut sekali melihat Richard dan Dave, adik laki-lakiku, berdiri di sana. Pontiac biru Dave masih menyala mesinnya.

Aku turun pelan-pelan, masih memeluk Michael.

“Dave, kau terlalu cepat dua jam,” kataku padanya sambil memindahkan Michael yang masih terlelap pada pelukan Diane. “Kupikir aku memintamu untuk menjemputku jam sembilan?”

Dave tidak menjawab. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Aimee, pulanglah denganku,” katanya.

“Tapi aku masih ingin me—”

“Kumohon, Aimee, ikutlah denganku.”

Aku tertegun. Dave tidak pernah memohon. Tidak sekalipun. Tapi sekarang ia memohon padaku.

“B-baiklah, Dave. Tunggu sebentar…”

Aku menoleh. Diane dan Richard berdiri di sana. Richard memeluk lengan Diane.

“It’s okay, sweetheart,” kata Diane, tersenyum lembut.

Richard menepuk pundakku. “Nanti kami susul,” katanya pelan.

***

Dave menghentikan mobil di depan gerbang. Kulihat pintu depan terbuka, dan semua lampu dinyalakan. Beberapa mobil nampak diparkir di dekat Uncle Crooks. Di depan kami, ada sebuah jeep militer.

Jeep militer.. Aku mendongak. Lampu di kamar Eugene pun menyala. Aku menghela nafas, menoleh pada Dave dan tersenyum. “Kalau hanya Eugene yang pulang dan kita mengadakan pesta kejutan, kau kan tidak perlu menjemputku lebih awal, Dave.”

Dave tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke jendela di sisinya.

“Dave?” panggilku.

Ia tetap diam.

“Dave, ada apa ini?” tanyaku khawatir, memegang lengannya agar ia berpaling menghadapku.

“Dave, aku ingin tahu. Katakan padaku sekarang juga. Sebenarnya ada apa?”

Pelan, Dave menggerakkan kepalanya. Ia tidak menatapku, ia hanya menunduk.

“Dave?!” kuguncangkan lengannya.

Akhirnya ia menatapku.

“It’s Eugene…” kata Dave berat.

“Apa katamu?”

“Aunt Denise mendapat telegram… dari Kemiliteran.”

Aku memalingkan wajah ke luar jendela. Langit malam begitu kelam, tidak satupun bintang terlihat di sana. Sesaat, kemudian aku kembali menatap Dave.

“Kau bercanda, kan?” aku tersenyum.

“Sepunuh hati aku berharap aku sedang bercanda,” jawab Dave, mengusap mata dengan lengan jaketnya.

Aku tertawa. “Kalau begitu kau berbohong.”

Kudekatkan wajahku pada Dave sambil mencengkeram erat lengan jaketnya. “Dengar, Dave,” bisikku penuh ancaman. “Eugene tidak pergi berperang ke Eropa. Dia hanya ditugaskan ke Pearl Harbor. Tak mungkin terjadi apa-apa padanya.”

“Aimee—”

“Tidak! Aku tidak mau mendengar omong kosong lagi!” teriakku sambil menutup telinga dengan kedua tangan.

“Aimee—”

“Aku—tak mau—dengar—lagi!” teriakku sambil membuka pintu mobil dan melompat keluar.

Masih menutup kedua telinga, aku berlari menyeberangi halaman.

Tidak, ini tidak mungkin benar!

Aku terus berlari.

Mama. Mama pasti tahu semua ini tidak benar.

Aku terus berlari.

“Mama! Mamaaa!!”

***

Aku nyaris jatuh tersandung kaki Helen ketika aku masuk. Aku menegakkan punggung dengan jengkel dan nyaris saja memarahinya karena ia duduk begitu saja di dasar tangga ketika kusadari sesuatu. Helen membenamkan wajah dalam gaun katun birunya. Ia menangis.

Aku menelan ludah. Kusentuh bahu Helen.

Helen mengangkat wajah. Bulir-bulir air mata menuruni pipinya. “Aku menggendongnya dalam pelukanku ketika ia lahir. Dia anak yang baik… Aku tahu ini akan terjadi. Dia seharusnya tidak pergi…”

Kulepaskan tanganku dari bahu Helen. Aku berlari ke ruang tengah.

“Ma!” panggilku sambil membuka pintu.

Apa yang kulihat membuatku nyaris kehilangan keseimbangan. Aku berpegang erat pada daun pintu, gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Paman Arthur duduk di kursi dekat perapian, memegang kapala dengan kedua tangan, menatap lantai tanpa ekspresi. Papa duduk di samping Paman, berkata pelan, entah apa.

Di dekat jendela, Mama memeluk Bibi Denise yang menangis terisak-isak. Di dekat mereka, seorang pria berseragam militer lengkap berdiri. Ia diam, tetapi matanya pun sembab.

Eugene… kau tidak benar-benar…

Dingin… kepalaku sakit. Seseorang, peluklah aku dan katakan padaku semua ini tidak benar-benar terjadi.

Aku melangkah masuk, menunggu seseorang memelukku.

Tolong aku…

Aku berjalan mendekat, masih menanti. Tidak seorang pun datang.

Di salah satu sudut kulihat sosoknya. Gadis yang menangis saat Eugene pergi itu duduk di sana. Air mata tak berhenti mengalir dari mata coklatnya yang besar. Gadis itu terisak perlahan. Sendiri sepertiku.

Aku berjalan mendekat, berlutut di hadapannya. Ia memandangku. Kurengkuh dirinya dalam pelukan.

Saat ini dialah yang paling membutuhkan pelukan dari seseorang.

***

Kemiliteran mengirimkan barang-barang milik Eugene. Aunt Denise tak sanggup melihat barang-barang itu. Ia memintaku dan Diane untuk mengeluarkan barang-barang itu dari kotaknya.

Diane menghidupkan lampu kamar Eugene. Seprei dan bantal biru di atas bed tertata rapi. Begitu pula meja tulisnya. Bola basket… Lambang West Point di dinding… Deretan pigura di atas rak buku.

Aku melangkah ke depan rak, dan memandangi pigura-pigura itu. Hatiku terasa tersayat melihat foto kami berdua pada salah satu pigura itu. Kami bergandengan tangan, tersenyum cerah.

Air mata mulai merebak, aku memalingkan wajah ke arah kotak yang berisi barang-barang milik Eugene. Diane sudah membuka kotak itu. Diangkatnya sebuah pigura dari dalam kotak itu, dan dipandanginya lembut foto Eugene yang tersenyum cerah dalam seragamnya.

Diane meletakkan pigura itu. “Keterlaluan. Bahkan jasadnya tak kembali.”

Tanganku bergetar, menyentuh kotak itu.

Diane benar… Bahkan jasadnya tidak kembali.

Kupandangi benda-benda di hadapanku dengan hati pilu. Seragam hijau. Muts. Tanda-tanda pangkat. Badge yang belum dijahit. Seragam lapangan…

“Apa ini?” tanya Diane, mengangkat sebuah kotak biru di lantai. Aku mendekat, dan membuka tutup kotak itu.

Sebuah pesawat kayu tergeletak dalam kotak hitam itu. Warna merah sayapnya yang lebar begitu berkilau ditimpa cahaya lampu.

Ini… Pesawat ini…

Dengan tangan gemetar kuamati setiap detil pesawat itu. Aku tak mungkin lupa bentuk baling-baling itu, tempat duduk, sayap, dan ekornya. Pesawat ini, adalah replika yang sempurna dari Rhett Butler-ku.

“Aimee… Ini…” bisik Diane dengan suara tertahan. Diulurkannya sebuah kartu berwarna biru cerah. Secerah langit Louisiana di musim panas. “Jatuh ketika kau mengangkat pesawat itu.”

Perlahan, kubuka kartu kecil itu. Tulisan Eugene yang ramping dan panjang-panjang menyambutku. Hanya ada tiga kata di sana.

Aimee, maafkan aku.

Tak terkira pedihnya hatiku saat itu. Bulir-bulir hangat membasahi pipiku.

Kupandangi pesawat merah itu sekali lagi. Betapa miripnya. Tak ada bagian yang berbeda.

Kecuali satu. Di dekat ekor pesawat itu terukir sebuah nama yang ditegaskan dengan tinta hitam berkilau.

Rhett Butler.

Aku menelungkup di lantai, memeluk pesawat merah itu sambil menangis tersedu-sedu.

EugeneEugene…!!

***

Bintang-bintang nampak berkilau dilatarbelakangi langit senja ungu bersemu merah. Kubuka pintu pagar, dan kutuntun perlahan sepedaku memasuki halaman. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Semua, kecuali lampu salah satu kamar di lantai dua.

Eugene sudah pergi. Pergi, dan tak mungkin akan kembali.

Kusandarkan sepeda di samping rumah, kemudian aku berjalan ke arah Uncle Crooks. Aku duduk di atas ayunan yang tergantung pada salah satu cabangnya.

Kupandangi ruang tanpa cahaya itu. Pemandangan yang sama sejak lima tahun silam. Sejak Eugene meninggalkan kota ini.

Pemandangan yang sama. Tapi sekarang, ada rasa hampa dan kepedihan yang menyusup lebih dalam.

Aku berayun perlahan, memandangi cabang-cabang pohon oak tua ini. Saat itu, di cabang manakah ia duduk? Dari cabang yang mana ia melemparkan pesawat merah itu, dan mengawali kehancuran hatiku?

Eugene

Maaf…


When the deep purple falls

Over sleepy garden walls,

And the stars beam to flicker in the sky

Thru the mist of memory,

You wander back to me

Breathing my name with a sigh

In the still of the night,

Once again I hold you tight,

Though you’re gone,

your love lives on

When moonlight beams

And as long as my heart will beat

Lover, we’ll always meet

Here in my deep purple dreams..

Fin

little birds told me: