jeudi 19 avril 2007

first story

In the Name of Allah, the Gracious, the Merciful

What the Moon Saw:

Gigi

Aku senang memandangi rumah itu. Aku menyukai atap merahnya yang terkesan hangat, kerikil halus di jalan setapaknya yang berkilauan memantulkan cahayaku saat purnama, dan pagar putih yang mengelilingi halamannya. Begitu pula kucing hitam yang sering datang dan duduk di undakan depan rumah itu saat malam hari.

Namun, di atas semua itu, ada satu yang paling kusukai: gadis kecil yang tinggal di sana. Mata cokelatnya selalu berbinar cemerlang. Pipinya bulat kemerahan, seperti apel yang ranum. Rambutnya yang agak ikal selalu diekor kuda, bergoyang-goyang saat ia berjalan. Dan senyumnya! Benar-benar menggemaskan!

Tapi, sepertinya malam ini ia kehilangan senyumnya. Dari jendela kamar kakak laki-lakinya yang terbuka lebar, dapat kulihat wajahnya yang muram. Memakai piyama merah dengan motif kelinci dan permen, ia duduk bersila di atas tempat tidur. Betapa herannya aku! Gadis kecilku tengah mengamati wajahnya pada sebuah cermin tangan berukir. Sejak kapan gadis kecilku suka berdandan?

Merasa penasaran, aku terus mengamatinya. Lucu! Dahinya berkerut serius dan alisnya nyaris menyatu. Bibirnya sedikit cemberut, membuat pipinya nampak lebih bulat. Aku sudah hampir tersenyum ketika tiba-tiba…

“IIIIIIIIIIIIIII!!!” teriak gadisku dengan suaranya yang tinggi melengking. Aku benar-benar kaget! Tetapi nampaknya bukan hanya aku yang terkejut. Moussa, kucing hitam yang tengah menjilati mukanya di atas ayunan juga langsung lari terbirit-birit.

“Bitta apa-apaan, sih?! Bikin kaget aja!”

Yang berteriak kesal itu Alex, kakak semata wayang gadisku. Oh ya, nama gadis kecilku itu Bitta, kependekan dari Brigitta. Alex-lah orang pertama yang memanggilnya begitu.

“Habis…” Bitta merajuk (Heran, dengan tampang sekucel itu pun aku masih menganggapnya manis!). Eh… Aku tertegun melihat bulir air mata menuruni pipinya yang kemerahan.

Pasti Alex juga terkejut, karena kulihat ia segera menghampiri adik kesayangannya itu dan menepuk-nepuk pundaknya. Seandainya aku dapat turun ke bumi, pasti aku juga sudah mendekati dan memeluknya.

“Masalah itu lagi, ya?” tanya Alex sabar. Bitta tidak menjawab. Ia menghapus air mata dengan punggung tangannya. “Sudah, tidak usah dipikirkan. Nanti juga tumbuh sendiri. Waktu seusiamu aku juga…”

Alex terdiam menyadari bahwa adiknya memandangi wajahnya dengan tatapan aneh, alih-alih mendengarkan kata-katanya. Bibir Alex masih terbuka, masih membentuk fonem ‘a’. Alex buru-buru mingkem, lalu balas menatap adiknya, setengah iba, setengah kesal. Ia tahu, tadi Bitta tengah menatap taringnya. Ya, taringnya. Taring vampire-nya.

Kedua orang tua Bitta dan Alex adalah vampire. Demikian juga hampir seluruh keluarga mereka. Memang, ada seorang nenek canggah yang bukan vampire (namanya Granny Dan. Beliau penyihir handal, dan pemilik toko kue manis terkenal di kota), tapi ya hanya beliau seorang.

Aneh memang. Tahun ini Bitta mulai masuk sekolah. Tetapi belum ada tanda-tanda bahwa ia akan tumbuh menjadi vampire sejati. Kulitnya sama sekali tidak pucat. Dia juga sangat sehat meski belum pernah meminum darah setetes pun (favoritnya susu rasa strawberry). Tapi, yang paling merisaukan adalah giginya. Bitta tidak punya taring.

Mmm… sebenarnya dia punya. Tentu saja, semua orang punya taring, kan? Tetapi, taring Bitta begitu… biasa. Alih-alih kecil dan runcing, taring Bitta itu ukurannya hampir sama dengan gigi serinya dan tumpul (bahkan untuk standar orang biasa, bukan standar vampire).

Meskipun kadang-kadang merasa resah dengan semua itu, biasanya Bitta bersabar. Toh Papa dan Mama tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tetapi, rupanya komentar beberapa orang bibi saat makan malam beberapa hari yang lalu sangat mempengaruhinya.

“Taringnya belum muncul juga?” tanya Bibi Evelynn, memeriksa gigi Bitta. Dia dokter gigi. “Padahal sudah waktunya…”

“Mungkin memang tidak akan muncul,” kata Paman Darren santai sambil mengiris steak.

“Kalian terlalu banyak memberinya susu strawberry,” komentar Bibi Fanny sok tahu. Papa hanya tersenyum.

“Bit, liburan musim panas nanti sebaiknya kau berlibur ke rumah Paman saja. Kau bisa belajar membuat kue manis dengan Granny Dan di sana,” usul Paman Andrew, yang disambut dengan tawa semua orang.

Bitta kecil yang malang! Andai saja Paman Andrew tahu, berapa kali sudah ia terbangun di tengah malam, bermimpi buruk tentang dapur besar di rumah Paman Andrew dan kue manis yang hangus!

Bitta… Bitta. Seharusnya tak perlu serisau itu. Tidak jadi vampire juga tidak apa-apa, kan? Bukankah berjalan-jalan di ladang bunga matahari sambil makan es krim lebih menyenangkan daripada bersembunyi di balik peti?

Jujur saja, aku lebih senang melihatnya tumbuh seperti sekarang. Tanpa kulit pucat, bebas berlarian di bawah sinar matahari. Betapa senangnya jika kelak ia menjadi seorang penyihir handal. Ahli ramuan, mungkin? Atau pakar Herbologi.

Ya, ya… Aku tahu, jadi vampire pun ia dapat melakukan semua itu. Tetapi, sekarang ia dapat bersekolah di sekolah biasa (tidak seperti Alex yang harus diprivat oleh Madam Darrengelz, vampire yang dulu juga mengajar Papa waktu Papa masih kecil), memiliki teman-teman yang menyenangkan, dan seorang sahabat karib bernama David. Apakah menjadi vampire sejati lebih berharga daripada itu semua?

***

Sebelum kami bertukar tugas, dengan terkantuk-kantuk Matahari menceritakan apa yang terjadi padaku di sekolah pagi itu. Gigi taring Bitta tanggal.

Kejadiannya waktu makan siang. Bitta tengah berkutat dengan steak daging bekal makan siangnya. Biasanya steak buatan Mama lezat dan empuk, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Memang, waktu membuatnya Mama sedang terburu-buru untuk segera berangkat ke perkumpulan bulanan ibu-ibu vampire… Mungkin karena itu steak kali ini alot seperti karet.

Bitta menarik kuat-kuat potongan steak itu dengan giginya, dan ‘pluk!’ Tiba-tiba saja taring Bitta yang tumpul itu jatuh di meja. Bitta cuma bisa melongo.

“Eeh..! Gigimu lepas, ya?!” teriak David antusias. Ia berjalan mendekat dan bertanya, “Sakit, enggak?”

Bitta menggeleng, “Enggak, enggak sakit.”

“Kaya’nya nggak berdarah, ya,” kata David. “Pasti kamu rajin sikat gigi. Kata Papa, kalau kita rajin sikat gigi, kalau gigi kita lepas nggak akan sakit. Malahan nggak kerasa. Aku dulu suka malas, sih, jadinya suka sakit, udah gitu gigiku bolong-bolong…” ia menambahkan sambil memamerkan tambalan di gigi-gigi gerahamnya.

“Ini dibuang di mana, ya?” tanya Bitta, mencari-cari tempat sampah di dekat bangku taman tempatnya duduk.

“Bawa pulang aja, taruh di bawah bantal. Besok pagi pasti gigimu berubah jadi uang, bisa buat beli pensil baru,” saran David.

“Jadi uang? Kok bisa?” tanya Bitta heran.

“Kata Mama, itu kerjaan Peri Gigi,” jawab David sambil nyengir dan ngeloyor pergi.

***

“Wah! Mungkin nanti akan tumbuh taring baru yang sehat, tajam, dan berkilau,” ujar Mama senang, menepukkan kedua tangannya.

“Begitu?” Papa mengangkat Bitta dan menggendongnya. “Sepertinya gadis kecil Papa lebih manis tanpa taring,” kata Papa santai sambil menatap Bitta, menimbang-nimbang.

“Kalau sudah tumbuh gigi taring, Bitta nggak harus pergi ke rumah Granny Dan tiap liburan musim panas, kan?” tanya Bitta senang.

“Bitta… Bitta,” kata Mama lembut sambil membelai rambut ikal putrinya, “Punya taring atau tidak, tidak ada yang memaksamu pergi ke sana jika kau tak mau…”

“Tapi Bitta senang taring tumpulnya lepas,” ujar Bitta sambil tertawa terkekeh.

“Kalau taring barumu tajam, kau tidak bisa sekolah di sana lagi. Mungkin kau akan pindah ke sekolah Deedee, Bit,” kata Alex tiba-tiba. Entah kenapa, malam ini kata-kata Alex terdengar kurang ramah, seakan-akan dia tidak senang taring baru Bitta akan tumbuh.

“Benar begitu, Pa?” tanya Bitta khawatir. Hal seperti ini belum pernah didengarnya. Sepertinya punya taring tajam itu asyik sekali. Tapi kenapa sampai harus pindah sekolah?

Papa dan Mama saling bertukar pandang. Kemudian Papa berkata, “Begini, Bitta…”

***

Bitta duduk di atas tempat tidur, memandangi burung bangau dari kertas lipat merah yang dibuatkan David untuknya dua hari yang lalu. Bitta diam, tapi keningnya berkerut, ekspresinya mirip dengan ekspresi Mama saat sedang bingung memikirkan hendak memasak apa untuk makan malam.

Melihat putri kesayangannya bermuram durja, Mama yang sedang menata lemari pakaian meletakkan tuxedo biru Papa di atas kursi, lalu menghampiri Bitta.

“Kenapa, Bitta?” tanya Mama lembut, membelai kepala Bitta.

“Kalau pindah sekolah… Berarti Bitta nggak bisa ketemu David lagi?” tanya Bitta dengan suara tercekat.

Aduh! Bitta hampir menangis lagi! Jahat sekali taring itu, berkali-kali membuat gadis kecilku menangis! Seharusnya dia sakit dulu sebelum tanggal, biar taring itu tahu rasa dan menangis-nangis! pikirku kesal.

Mama terdiam beberapa saat. Kadang-kadang, sulit rasanya untuk mengatakan kebenaran, apalagi jika itu akan menyakiti hati orang yang kita sayangi. Lidah jadi terasa kelu dan sepertinya tenggorokan kita tercekat. Tapi, kita juga tidak bisa mengatakan kebohongan sekedar untuk menyenangkan hati orang yang kita sayangi itu.

Tetapi, bagi Bitta, kediaman Mama itu berarti ‘Ya.’ Karena itu ia merasa sedih sekali, kelihatan dari sinar matanya saat menatap origami pemberian David.

Tidak mungkin tidak sedih saat harus berpisah dengan sahabat sendiri. Karena sahabatlah yang selalu ada untuk menghiburmu saat kau sedih, menemanimu saat kau kesepian, mengajarimu PR yang sulit, meminjamimu catatan ketika kau tidak masuk karena sakit atau sekedar malas mencatat (^^;), memberimu semangat saat kau bertanding mewakili kelasmu, dan membelamu saat anak-anak lain bersikap jahat terhadapmu… Mama tahu sekali hal itu. Dan Mama pun tahu, seperti itulah arti David bagi Bitta.

“Tapi Bitta,” kata Mama pelan. “Kalau taringmu sudah tumbuh, kau tidak akan ditanya-tanya dan diejek lagi. Itu juga menyenangkan, kan?”

Bitta tidak menjawab. Kalau menjadi vampire sejati lebih menyenangkan, kenapa rasanya sedih sekali mengetahui ia takkan bisa bertemu dan berteman dengan David seperti sekarang?

“Bitta nggak mau pindah sekolah,” kata Bitta, terdengar sedikit keras kepala. Sebenarnya Bitta tahu, itu tidak mungkin jika taring tajamnya sudah tumbuh. Tadi Papa sudah bercerita tentang Paman Aswad yang nyaris celaka karena nekad menonton Piala Dunia, padahal pertandingannya siang hari. Kalau tidak diselamatkan Kakek Fredo, entah apa yang terjadi pada Paman. Sekarang saja, Paman Aswad masih hitam kulitnya, gara-gara kejadian itu. Padahal, dulu kulit Paman putih bersih. Matahari memang musuh yang mengerikan untuk seorang vampire!

Bitta diam, berpikir-pikir sejenak. Lalu, ujarnya tiba-tiba, “Bitta ingin seperti Granny Dan saja.”

Mama melongo.

“Karena kalau begitu Bitta bisa terus ketemu David, dan enggak perlu pindah sekolah.”

Mama tersenyum. “Kalau memang itu yang Bitta inginkan, ya tidak apa-apa.”

“Benar, Ma?” tanya Bitta, sedikit tak percaya. “Mama nggak sedih kalau Bitta tidak jadi vampire?”

Mama merengkuh Bitta dalam pelukannya, dan mencium kening gadis kecil itu. “Asalkan Bitta tetap sehat, baik, dan ceria, Mama sudah senang, kok. Vampire atau bukan, Bitta tetaplah gadis kecil yang paling Mama sayangi.”

Bitta tersenyum, kemudian memeluk Mama dengan erat. Tetapi kemudian ia teringat satu hal. Bitta melepaskan pelukannya, dan mendongak menatap Mama. “Tapi, Ma, kalau taring Bitta tumbuhnya tajam, Bitta tetap harus pindah sekolah, dong?”

Mama diam, berpikir-pikir. Iya juga, ya. Aduuh… Bagaimana ini?

Tapi, kemudian Mama ingat satu hal. Bagaimana mungkin Mama lupa?!

“Manisku!” kata Mama penuh semangat, menatap Bitta dengan mata berbinar-binar. “Tidak apa-apa, Sayang! Bitta ingat, kan, Tuhan selalu mengabulkan doa? Kalau begitu, kita berdoa saja pada Tuhan, semoga gigi taring barumu tidak tajam!”

“Iya, iya!” ujar Bitta antusias. Ia menyambut uluran tangan Mama lalu beranjak ke tepi tempat tidur. Mereka berdua duduk dengan manis di sana, bersebelahan. Kemudian, mengikuti Mama, Bitta mengangkat kedua tangannya.

“Tuhan Yang Maha Baik, semoga gigi taring Bitta yang baru tidak tajam, amin,” bisik mereka berdua sungguh-sungguh.

“Dan semoga Bitta bisa terus berteman dengan David,” tambah Bitta sebelum menyapukan kedua tangannya ke muka, “Amin.”

Amiin! doaku dalam hati.

***

“David…” panggil Bitta.

David mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.

“Pensilku rusak lagi…” kata Bitta, mengulurkan sebatang pensil mekanik berwarna ungu muda.

David mengambil pensil itu dan mulai memperbaikinya. Sementara itu Bitta duduk di kursi di seberang David, melihat-lihat gambar di dalam buku yang tadi dibaca David.

Entah sudah berapa kali Bitta meminta David memperbaiki pensil mekaniknya. Entah mengapa pensil itu sering sekali macet dan entah kenapa, hanya David yang bisa (dan mau) memperbaikinya untuk Bitta. Papa sudah membelikan Bitta pensil baru, tetapi Bitta tidak mau berpisah dengan pensil lamanya, karena pensil itu pemberian Bibi Myrtee ketika ia akan pindah ke Spanyol. Bitta menyayangi pensil itu, seperti ia menyayangi Bibi Myrtee.

“Ini,” kata David, mengulurkan pensil itu pada Bitta.

“Terima kasih,” kata Bitta, tersenyum lebar.

“Sama-sama,” jawab David, mengambil kembali bukunya. Tetapi tiba-tiba ia berhenti dan menatap Bitta. “Eh tunggu! Taringmu udah tumbuh, ya?”

Bitta mengangguk senang.

“Tapi nggak tajam,” kata David lagi.

“Aku memang pinginnya begitu. Makanya aku dan Mama berdoa terus supaya taringku nggak tajam,” jawab Bitta sambil berjalan ke tempat duduknya.

“Hey!” panggil David. “Bisa, ya? Aku juga pingin rambutku nggak ikal berantakan seperti ini.”

“Berdoa saja,” kata Bitta sambil tersenyum. “Kata Papa, kalau kita bersungguh-sungguh, Tuhan pasti mengabulkan doa kita!”

David tersenyum sembari merapikan rambut ikalnya, tetapi rambut ikal itu tetap saja berantakan.

Aku dan Matahari bertukar pandang sambil tersenyum. Sebuah Fokker militer melintas di depan kami. Sudah waktunya aku pergi.

“Baik, Matahari, aku pergi dulu. Terima kasih sudah memperbolehkanku tinggal lebih lama,” kataku sopan.

“Tidak apa-apa, Bulan,” Matahari tersenyum ramah. “Yakin tidak mau sarapan dahulu bersamaku?” tambahnya sambil menawariku secangkir cappuccino hangat dan sepiring croissant yang tampak lezat.

“Terima kasih, tapi lain kali saja,” kataku sambil tersenyum. Matahari mengangguk maklum.

Dengan satu anggukan terakhir aku beranjak pergi, perlahan-lahan menghilang dari langit pagi yang semakin cerah, menuju langit malam yang sudah menantiku. Saat aku tiba, seekor burung hantu yang tengah bertengger di dahan sebatang pohon Ash menyapaku.

“Bulan, malam ini aku merasa kesepian dan sedih. Maukah kau bercerita untukku? Supaya aku bisa tersenyum lagi?” tanyanya, mendongak ke arahku.

Aku tersenyum dan mengangguk. Kemudian mulai kuceritakan padanya kisah tentang gadis kecil kesayanganku dan giginya, yang berada di sisi lain dari langit yang menaungi kami malam ini…

4 commentaires:

  1. asik ya ternyata yang cerita tu Bulannn.

    Bon, ceritanya imut banget, nyenengke. trus kamu bisa nangkep banget diksinya anak2 gitu...terasa natural lho Bon

    hey, aku suka bagian ini "Bukankah berjalan-jalan di ladang bunga matahari sambil makan es krim lebih menyenangkan daripada bersembunyi di balik peti?"

    trus si David itu kok lucu banget yah (maksudku: gemesin)? aku suka banget semua detil adegan pas giginya Bitta copot. empat jempol buat Bonita!!!

    Btw.... kayaknya aku tau deh anak sd yang suka benerin pensil mekanik heheheheheeeee

    RépondreSupprimer
  2. Thank you, thank you.. ^___^

    Hihi, ayo Nadya, kita jalan-jalan di ladang bunga matahari sambil makan es krim (kata Mamaku, di Jogja ada lho, ladang bunga matahari... pasti nggak kalah asyik sama jalan-jalan di ladang stroberi yang sampai sekarang belum kesampaian itu :) )

    trus si David itu kok lucu banget yah (maksudku: gemesin)? aku suka banget semua detil adegan pas giginya Bitta copot.
    Nad suka?? Senangnya.. *peluk-peluk Nad*
    Iya, Dave emang lucu, aku aja suka.. *ditimpuks*
    Hehehe...

    Kalimat terakhir...

    *^ ^*

    RépondreSupprimer
  3. Rou, rasanya cerita ini belum masuk ke thread When The Moon Saw ya? Baru ya?

    Duh, kangen sama cerita-cerita itu .. Pengen bikin lagi deh thread seperti itu.. Kangen sama Wita.. kangen Rou, kangen Parker, kangen MSS...

    RépondreSupprimer
  4. Iya, Mbu..
    Waktu itu belum sempat dipost, rasanya udah terlambat (seingat Rou When the Moon Saw ada deadline-nya, dan Rou, as a last-minute person, ketinggalan *hiks* ).

    Iya,Mbu, Wita san, MSS dan Parker selalu ada di urutan paling atas daftar teman yang paling Rou kangeni juga ^ ^

    Kalau Ambu, kangennya udah rada terobati meski belum sempat-sempat juga Rou main ke Bandung, hehehe..

    Rasanya pingin kembali ke 'Hogwarts' dan ketemu Profesors Ambu, Wita, Parker, dan yang lainnya :)

    Thanks for reading, Ambu ^-^

    RépondreSupprimer

little birds told me: