lundi 20 août 2007

The Beginning ~ James Potter & Lily Evans

In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful...


Bagian Pertama
Oleh James Potter

Kami berempat—aku, Sirius, Remus, dan Peter masih cekikikan di bangku kami di belakang kelas, tertawa pada lelucon Sirius tentang boggart dan kentang ketika aku mendengar seseorang berdehem di sebelahku.

Aku menoleh dan mendapati Lily Evans menatapku tajam. Bola matanya yang hijau terang itu berkilauan.

“James Potter,” panggilnya. “Kau pasti tidak mendengar apa yang dikatakan Profesor Slughorn.”

Aku tersinggung juga mendengar tuduhannya itu. Tapi aku diam saja, karena toh tuduhannya itu benar dan beralasan.

“Dan kau pasti terus memperhatikan James sampai bisa menebak bahwa ia tidak mendengar kata-kata Slughorn,” kata seseorang. Seperti yang sudah kuduga, Sirius-lah yang mengatakannya. Dia paling anti kalah dari cewek. “Aku tahu James memukau, Evans, tapi sebenarnya kau tidak perlu memandangnya terus seperti itu,” tambahnya dengan cengiran lebar. Aku menyikut rusuknya keras.

Sekilas tampaknya Lily juga hendak memukul Sirius, tapi sepertinya ia memilih untuk menahan diri.

“Memangnya apa kata Profesor?” Yang bertanya kali ini adalah Remus Lupin. Sudah dua kali ia menengahi pertengkaran Lily dan Sirius. Nampaknya kali ini pun demikian. “Maaf, Lily, tadi kami terlalu asyik bercanda.”

“Kita—kau dan aku, James, sekelompok untuk pelajaran kali ini. Sedangkan Remus, kau sekelompok dengan Sirius. Peter Pettigrew, kau dengan Annabelle Hopkins,” jawab Lily.

Aku bangkit dari tempat duduk. “Oke. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku.

“Slughorn menyuruh setiap kelompok membuat ramuan yang berbeda. Di akhir pelajaran, ia akan meminta kita untuk menebak ramuan apa yang kita buat itu dari bahan-bahan dan ciri-cirinya,” jawab Lily panjang lebar. “Dan sebaiknya kita segera mulai kalau ingin selesai tepat pada waktunya.”

“Ah, beruntung sekali kita punya Miss Evans yang brilian ini,” kata Sirius, tersenyum cerah. “Tidak perlu khawatir jika lain kali kita punya lelucon yang bagus. Dia pasti menerangkan apa yang kita lewatkan!”

“Jangan harap,” jawab Lily dingin.

Aku membereskan buku-buku dan pena buluku, kemudian berjalan bersama Lily ke salah satu meja di bagian depan untuk mengerjakan tugas kami. Saat itu kudengar Sirius berkata, “Thanks, Evans!”

Dan anehnya, dari sudut mata kulihat Lily tersenyum geli.

***


Bagian Kedua
Oleh Lily Evans

Menyenangkan juga bekerja dengan James. Tadinya aku sudah berprasangka buruk bahwa dia akan mengacaukan semuanya. Tetapi tidak. Ia cukup terampil menakar bahan-bahan dan ia mau bolak-balik ke meja depan untuk mengambil bahan-bahan ramuan kami. Praktis, yang perlu kulakukan hanyalah membacakan instruksinya dan mengaduk ramuan itu.

Dari sudut mata kupandangi sosok yang tengah mengupas akar Valerian itu. Rambut hitamnya yang acak-acakan terlihat semakin acak-acakan saja. Dan kacamatanya sedikit berembun terkena uap ramuan. Lucu, dia kelihatan berantakan sekali. Tapi manis!

”Aduh!”
PRANG!

Aku menoleh. Pisau perak James sudah jatuh ke lantai, dan kulihat darah mengucur deras dari jari telunjuk kirinya.

“James!” ujarku terkejut. “Harusnya kau biarkan aku saja yang mengupas akar Valerian itu… Sini, kemarikan tanganmu.”

“Sudah, sudah, tidak apa-apa,” jawab James, mengusapkan darahnya pada bagian samping jubahnya.

“Kemarikan!” ujarku tegas sambil menarik tangan James.

Sepertinya ia terkejut mendengar kata-kataku barusan. Tetapi ia diam dan menurut, seperti anak kecil.

“Ferula,” ujarku sambil mengetukkan tongkatku pelan di jari yang luka itu. Perban putih bersih segera menggulung dan menutup rapat luka itu. “Sudah,” kataku. “Tapi nanti minta pada matron untuk mengobatinya, ya. Jangan dibiarkan, nanti bisa infeksi.”

“Thanks… Lily,” kata James pelan.

Aku tersenyum.

***


Bagian Terakhir
Oleh James Potter

“Lumayan, James,” kata Remus sambil tersenyum. “Dengan sedikit latihan lagi pasti kau bisa melakukannya dengan lebih baik.”

“Thanks, Remus,” jawabku, memandangi balutan tak rapi di jari telunjuk kiriku.

Remus baru saja mengajariku mantra untuk membalut luka, sama seperti yang tadi dirapalkan Lily untuk membalut lukaku. Tapi mantraku tidak seberhasil mantra Lily. Aku ingat sekali balutan rapi yang tadi dibuatnya. Beda sekali dengan balutanku, yang penuh dengan benang-benang kasa yang mencuat keluar.

“Oke James, aku harus ke perpustakaan sekarang,” kata Remus sambil bangkit dari kursinya. “Aku pergi dulu, ya.”

Aku mengangguk, dan merebahkan diriku di tempat tidur Remus sementara ia mengambil dua kitab bersampul hitam dari atas meja, lalu keluar.

Aku kembali teringat kejadian siang tadi. Kepanikan Lily dan ketegasannya. Persis seperti Mum waktu aku masih kecil. Waktu jariku teriris saat aku memotong sendiri kue coklat yang ada di dapur. Kue yang sebenarnya tidak boleh dimakan sebelum Grandma dan Grandpa datang…

Kenapa, ya, ia sepanik itu saat melihat jariku terluka?

Apa ia memang selalu sebaik itu? Selalu penuh perhatian seperti itu?

Kukeluarkan perban bernoda darah yang ada di saku jubahku. Perban yang digunakan Lily untuk membalut lukaku. Perban yang diciptakan dengan mantranya.

Aku tersenyum.

Sudahlah, apapun alasannya, aku senang ia mengkhawatirkanku tadi. Aku senang ia membalut lukaku.

Dan aku senang sekali, hari ini aku sekelompok dengan Lily Evans.

*fin*

4 commentaires:

  1. Aku dan Remus berdiri di seberang James dan Lily,membuat ramuan dan mencoba menebak namanya-yang bahkan bisa kujawab tanpa melihat bahan2nya, aku tak percaya Remus tak tahu, tapi dia-seperti biasa-selalu mengikuti prosedur.
    Seperti layaknya aku tak percaya Lily Evans tak jatuh cinta pada James. Dari caranya memandang James, apalagi waktu jari James terluka, Gadis itu hanya mencoba membohongi dirinya sendiri, tolol...
    Aku menghela nafas panjang, pandanganku menerobos ke arah anak Slytherin yang memang sedang sekelas dengan kami, tertuju pada seorang gadis...
    Aku tak tahu apa yang menyebabkannya bisa masuk Slytherin, gadis sepolos itu seharusnya ada di Huflepuff atau di Gryffindor, bersamaku...
    Tiba-tiba dia menoleh ke arahku,spontan aku kaget, melihat ekspresiku dia tersenyum-salah satu senyum terindah yang pernah ada di dunia ini,senyum yang selalu ingin kulihat sejak kami masih kecil-
    Tiba2 orang disebelahnya berkata sinis
    "Bagaimana mungkin kau bisa tersenyum pada seorang pengkhianat, Maurent. Seharusnya sudah kau lupakan dulu kalo kau pernah mempunyai sepupu bernama Sirius"
    Maurent cuma memandang Lucius Malfoy dengan ekspresi sedih, di keluargaku mungkin hanya dia yang masih menganggapku ada.
    "Ternyata tak hanya James yang telah terkena imbas kutukan cinta."kata Remus tiba2, aku langsung memasang ekspresi dingin, dan kembali mengaduk-ngaduk kuali dengan cepat tanpa menyadari bahwa kualinya telah kosong, aku memandang Remus dengan ekspresi bingung.
    "Sudah kukumpulkan ke depan."kata Remus yang mukanya merah padam menahan tawa.

    RépondreSupprimer
  2. i wrote it sebelum aku ngabisin harpot, dan sekarang,ini sepertinya lebih cocok diceritakan dari sisi Snape than Sirius.

    RépondreSupprimer
  3. Hwahahaha...

    Lucu abiiss..!! :DD
    Suka banget endingnya.. Remus-ku cute sekalii.. *dijitak Arai*

    Btw, pas banget yah, dirimu dan dirinya suka nama yang sama: Maurent.

    Ingatkah dirimu bagaimana nama ini dilafalkan?

    Morong.

    Sengau, indah, dan berkelas sekali...

    Hahaha..

    Thanks ya ceritanya... ^ ^

    RépondreSupprimer

little birds told me: