Spending half an hour blogwalking, terinspirasi juga saya untuk menulis tentang event 28 November itu. Setelah satu tahun empat bulan menunggu (credit to Diah for the accurate calculation ^^ ), akhirnya terbit juga buku terakhir tetralogi Laskar Pelangi—Maryamah Karpov.
Cerita tentang hujan dan lain-lain, sudah ditulis oleh Holy di diarinya. Jadi, saya tinggal menambahi sedikit saja. This is the story, in Rou’s eyes.
Sedikit mengingatkan pada event di Omah Sendok waktu itu, kali ini acara diadakan di halaman samping MP Book Point. Begitu kami mengambil tempat duduk di dekat kolam (saya suka gemericik airnya), alunan suara merdu Norah Jones menyanyikan New York, New York menelusup di sela dinginnya udara sehabis hujan akhir November. Selama sekitar setengah jam kami menunggu Hirata ssi, dan selama itu kami dihibur oleh lagu-lagu manis Tennesse Waltz dan Englishman in New York yang dibawakan oleh sebuah grup musik akustik. Ini seperti menonton konser musik saja, menyanyikan sepenggal lagu itu dengan ceria. Be yourself, no matter what they say.. Anda tahu lagu itu, kan?
Satu hal menggelitik benak saya sampai detik ini. Beberapa hari sebelum acara ini, saya ingat saya membaca sebuah tulisan mengenai lagu ini. Englishman in New York. Maka, saya yang belum pernah mendengar lagu ini sebelumnya, langsung merasa tak asing mendengar judul dan liriknya. Namun saya tak ingat sama sekali di mana, dan kapan saya mengenal lagu ini untuk pertama kalinya. Mungkinkah dalam Tempo edisi bulan September kemarin?
Kembali ke halaman samping itu. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Masih dengan senyum ramah yang sama. Baret hitam yang sama, jins, dan kali ini t-shirt putih (Sst, saya lebih suka t-shirt hitam yang dikenakannya di Omah Sendok dulu, hehe :) ).
Saya sempat diam beberapa detik, memikirkan kata-kata apa yang disampaikannya waktu itu. Tapi tidak, tidak ada yang saya ingat, hahaha.. Yah, kali ini memang sedikit berbeda. Saya memandangnya dari jauh, tanpa kamera di depan saya. Kali ini saya tak harus mengabadikan apapun. Maka saya menikmati sungguh menyanyikan lagu tema film itu, at the top of my lungs, bersama semua orang.
Tahukah.. Saat Laskar Pelangi dinyanyikan, entah mengapa saya merasa saat itu semua penggemarnya, mereka yang selalu mengikuti jejaknya sejak awal sampai titik itu, implicitely, memberikan semangat. Akankah ini menjadi suatu momen yang akan terus Hirata ssi ingat? Bahwa dalam suatu titik di kehidupannya, at his highest high but also his lowest low, begitu banyak orang menyampaikan dukungan untuknya. That he wasn’t alone in it. Yes, Cicik, we did sing the song for you.
Hanya satu tahun empat bulan sejak malam itu, namun keadaan telah berubah begitu banyak. Waktu itu, Seroja mengalun lembut, suara biola menyelusup di antara gemerisik daun-daun dan lampion yang berayun. Yang ada, bahagia. Kali ini, nada-nada yang sama. Tetapi setiap kalimat terasa lebih dalam. Meninggalkan kesan yang berbeda. It’s not a time to weep. Don’t you believe in love. Don’t you believe in love..
Dan mengetahui apa di balik lagu kesayangan itu, saya tak lagi merasa ragu. Akan kesan yang saya dapat, from behind those eyes, that looked away.
Tak ada lagi sapaan hangat yang ditorehkan bersama namanya. Tapi kesedihan itu menjaga kewarasan saya kali ini (hahaha). Saya senang bisa menyapanya sedikit.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membuat malam itu sangat menyenangkan. Holy, Nina, Muslim ssi, Mas Danang, Koh Udin, Koh Syaiful, Pak Amus, Yudha ssi. Terima kasih untuk tawa dan persahabatan kalian (: