Bus Ksatria berhenti mendadak. Aku mengangkat kepala. Ah, daerah ini. Tak heran busnya berhenti.Jalanan berbatu di depan Lembaga Penelitian Astronomi memang hampir selalu macet. Semua Bus Ksatria melewati tempat ini, dan daerah ini memang termasuk yang tersibuk. Apalagi setelah dibukanya
Yellow Pumpkins -- kafe penyihir, dan
The Rowan House -- rumah penginapan sekaligus toko bahan ramuan di ujung jalan.
Bus merangkak di sisi kanan jalan. Tanpa sengaja kualihkan pandangan ke
sidewalk, dan betapa tertegunnya aku melihat sosok yang berjalan di depan pagar batu Lembaga Penelitian. Ya, pasti itu dia. Perawakannya yang kurus-tinggi, rambut cokelatnya yang lurus dan melebihi tengkuk, kacamata berbingkai hitam, serta jubah hitam bersulam benang perak di bagian dada itu tak mungkin lepas dari ingatanku. Aku tak perlu mengeluarkan kacamata dari balik jubah dan memakainya untuk memastikan bahwa itu dirinya. Sosok itu tersimpan dalam jalinan neuronku, begitu rapi hingga sekali pandang saja aku pasti tahu.
Tapi... apa yang ia kerjakan di sini? Berjalan seorang diri dengan ransel di punggung...Apa sepertiku juga, menengok ruang ujian?
Aku tersenyum. Tak mungkin. Ia sudah lulus ujian masuk Institut Penyihir Salem (yang gagal kumasuki) beberapa bulan silam. Tak mungkin pula ia kembali mengikuti ujian, karena jurusan yang berhasil dimasukinya adalah jurusan terbaik di Salem. Ya, dia memang pandai.
Pandai, berhati lembut, dan dingin.Orang paling dingin yang pernah kutemui di Hogwarts.
Sepertinya ia tak menyadari keberadaanku di dekatnya. Dalam diam, kuikuti langkahnya dengan pandangan, sampai akhirnya punggung berbalut jubah hitam itu menghilang dalam kerumunan orang.
Bus Ksatria menderum keras, kemudian ZAPP!!, sudut kota yang ramai itu digantikan oleh pemandangan hutan yang sejuk dan tenang. Pohon ash yang berderet rapat di kedua sisi jalan menari perlahan ditiup angin. Tak ada suara dalam bus, kecuali deru mesin yang lembut. Kupandangi deretan pohon yang panjang itu. Dan perasaan aneh mulai merayap dalam hatiku.
Apa ini kali terakhir aku melihatnya?
Atau tidak?
Kalau demikian, kapan lagikah?
Aku tak mengerti mengapa. Tak ada alasan bagiku untuk merasa kehilangan. Toh, dia bukan temanku (maksudku, apa kami layak disebut teman sementara kami tak pernah bertegur sapa sekali pun?).
Mungkin... memang tak perlu alasan untuk merasa kehilangan. Entahlah..
Bus Ksatria berhenti. PSeorang pemuda bertopi fez membuka pintu. Tampak sebatang pohon dengan papan kayu berukir
'Oak Valley' tergantung di salah satu dahannya yang rendah.
"Oak valley, Birmingham," ia tersenyum padaku.
Aku berdiri, merapikan jubah cokelatku dan segera berjalan ke arah pintu. Kuserahkan dua belas sickle perak pada si pemuda sambil mengucapkan terima kasih. Kuletakkan tas di dekat akar pohon itu, dan mundur sedikit. Pintu bus menutup. terdengar suara 'ZAPP!!' dan bus bercat ungu cerah itu menghilang di balik kabut yang turun setelah hujan. Aku mengangkat tas dan melangkah dalam diam. Angin dingin berhembus perlahan, sehelai daun jatuh di atas genangan air tanpa suara.
If that day you saw me in the crowd,let me tell you one thing:you were not dreaming.